Pertumbuhan dari pergerakan rohani tercepat di dunia
saat ini adalah gereja injili di Korea -- sebuah gereja yang telah
menetapkan sasaran untuk mengirimkan 10.000 misionaris lintas budaya
di akhir tahun 1980-an. "Setiap hari di Korea Selatan rata-rata ada
sepuluh gereja membuka pintunya untuk menampung gelombang petobat baru
yang terus bertambah." Diperkirakan ada satu juta orang yang
diubahkan menjadi Kristen setiap tahun -- suatu tingkat pertumbuhan
yang memperlihatkan bahwa orang Kristen Korea akan mencapai separuh
dari populasi penduduk Korea di akhir abad ini.
Misionaris di Korea mulai bekerja pada tahun
1880-an dan hampir pada saat itu ada respon yang baik -- tidak seperti
yang dihadapi oleh umat Katholik Roma pada dua dekade sebelumnya.
Salah satu alasan untuk hal ini kemungkinan adalah penggunaan istilah
Hananim untuk Tuhan dalam bahasa Korea, dengan menghindari istilah
yang diambil dari China yang digunakan oleh umat Katholik. "Penggunaan
istilah Hananim," menurut Don Richardson, "adalah sangat tepat untuk
misi Protestan di Korea! Mereka melakukan penginjilan di rumah-rumah,
kota-kota, dan di desa-desa. Kaum misionaris Protestan memulai
dengan memastikan kepercayaan orang Korea pada Hananim. Dengan
membangun dasar seperti itu, orang Protestan tidak mengganggu sifat
alamiah antipati orang Korea untuk tunduk pada kekuatan ketuhanan."
Dua gereja Protestan terbesar di dunia saat
ini berada di Korea. Yang terbesar dari kedua gereja tersebut adalah
Full Gospel Central Church dengan pendetanya Paul Yonggi Cho. Beliau
telah melihat pertumbuhan yang sangat pesat. Dulu berawal dari ibadah
di bawah tenda dan berkembang menjadi jemaat yang berjumlah lebih dari
270.000 jemaat. Full Gospel Central Church mempekerjakan lebih dari
300 pendeta tetap dan mengadakan tujuh kali kebaktian setiap Minggu
di auditorium utama dan kapel di sebelahnya yang menampung kira-kira
30.000 orang. Terlepas dari jumlah tersebut, pelayanan Cho sendiri
sangatlah mengesankan. Penginjilan adalah tujuan utamanya dan dia
telah memberikan strategi penginjilannya ke seluruh dunia.
Cho dilahirkan di lingkungan keluarga Budha
pada tahun 1936 selama masa kekuasaan Jepang atas Korea. Dia menderita
TBC ketika masih kecil, dan beberapa orang memperkirakan dia tidak
akan bisa bertahan sampai dewasa. Kondisi fisiknya yang lemah menarik
perhatian seorang wanita Kristen yang mulai mengunjungi dia. Melalui
kesaksian wanita itu, Cho diubahkan. Pada saat pertobatannya, Cho
mulai berpikir dan bergumul tentang kerinduannya untuk dapat melayani
Tuhan. Pada tahun-tahun selama pertumbuhan rohaninya, dia mulai
meletakkan dasar untuk melakukan pelayanan Kristen secara penuh.
Paul Yonggi Cho lulus dari sekolah Alkitab
Assemblies of God pada 1958. Dia mulai merintis "gereja tenda" di luar
Seoul. "Dengan dibantu oleh calon ibu mertuanya (Jashel Choi) dan
misionaris John Hurston, Pendeta Cho, yang masih menderita TBC,
memberikan pelayanan mengenai iman, harapan, dan kesembuhan kepada
kaum miskin dan teraniaya. Dalam enam tahun, jumlah jemaat gereja itu
mencapai 2000 orang, namun Pendeta Cho mengalami kelelahan baik secara
fisik dan mental. Dia pingsan ketika melayani ibadah pada tahun 1964
dan sejak itu dia merasa bimbang, apakah dia dapat kembali melanjutkan
pelayanannya sebagai pendeta. Bagaimana mungkin seorang pendeta yang
lemah seperti itu dapat memimpin jemaat yang begitu besar? Jika dia
tetap mengambil peran sebagai pemimpin pendeta itu sama saja artinya
dia menggali kubur sendiri. Pasti ada jalan keluarnya.
Selama masa penyembuhannya, Tuhan berbicara
kepadanya melalui kisah Musa pada Keluaran 18:13-26. Dari pesan itulah
dia mendapatkan ide untuk membagi gerejanya menjadi kelompok sel dan
setiap kelompok itu akan dipimpin oleh orang yang berkompeten. Rencana
itu tidak langsung disetujui begitu saja oleh jemaat dan anggota
majelis. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jemaat bertumbuh
pesat dan tanggung jawab penggembalaan tidak dapat diberikan
sepenuhnya kepada Pendeta Cho.
Konsep kelompok sel ini membuka kesempatan
bagi Full Gospel Central Church untuk menciptakan suasana gereja dalam
kelompok-kelompok kecil dan sekaligus jemaat tetap bisa menikmati
suasana ibadah raya. Meskipun kelompok kecil, keanggotaan diberikan
setelah seseorang memenuhi persyaratan tertentu. Seorang petobat baru
harus mengikuti katekisasi selama tiga bulan sebelum dia diterima
menjadi anggota sebuah kelompok sel. Bahkan keanggotaan itu hanya
diberikan selama 12 bulan. Setiap tahun para anggota dievaluasi dan
para anggota yang tidak aktif tidak diperbolehkan mengikuti pelayanan
lagi.
Pertumbuhan Full Gospel Central Church
bukanlah satu-satunya prioritas utama bagi Pendeta Cho. Pada tahun
1982, hampir 100 "gereja anak" didirikan. Pendeta Cho mengirimkan
ribuan pekerjanya ke berbagai tempat untuk membuka pelayanan baru.
Korea merupakan langkah awal dari program Pendeta Cho untuk terlibat
dalam penginjilan dunia. Gereja pusat telah mengirimkan para
misionarisnya pada tahun 1972 dan pada dekade berikutnya, lebih dari
100 misionaris full-time yang mengikuti pelatihan di seminari telah
dikirim ke Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Asia di mana
sekolah-sekolah Alkitab telah didirikan untuk melatih para petobat
baru.
Melihat perkembangan misionaris selama satu
dekade tersebut, Pendeta Cho membuat tujuan untuk meningkatkan jumlah
misionaris. Menurutnya, pelayanan misi adalah tujuan utama dari
pertumbuhan gereja. Hal tersebut merupakan strategi pertumbuhan
gerejanya. Dalam rangka menyebarkan strategi pertumbuhan gerejanya
itu, Pendeta Cho mendirikan Church Growth International. Pendeta Cho
melakukan perjalanan secara ekstensif untuk mengadakan seminar di
berbagai negara. Dia mendorong para pendeta untuk menerapkan
prinsip-prinsip kelompok selnya di gereja mereka masing-masing.
Judul Buku | : | From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions |
Penulis | : | Ruth A. Tucker |
Penerbit | : | The Zondervan, Corporation, Grand Rapids, Michigan, 1983 |
Halaman | : | 455-458 |
Sumber:e-JEMMi 38/2004